Sabtu, 06 Februari 2010

Persaudaraan di Komplek Elit

Benarlah kata Al-qur'an, bukan uang yang menyatukan perbedaan, bukan garis keturunan yang menyambung kasih sayang, bukan kecantikan dan ketampanan yang mempertautkan hati, bukan pula apapun artificial dunia yang membanggakan. Bukan, tetapi iman yang mampu melakukannya.
Iman tidak mengenal batas zona eksklusif meskipun perbedaan nampak amat mencolok. Warna kulit yang kontras , cengkok bahasa yang unik atau budaya yang berwarna seperti pelangi. Bagi iman, itu bukan soal. Iman memang tidak mengubah kulitr hitam menjadi putih, misteri pengertian bahasa menjadi terpecahkan atau menyeragamkan warna budaya menjadi tungga. Bukan. Tugas iman lebih mulia dari itu,yakni membingkai pluralitas tersebut dalam satu tat nilai yang tunduk kepada hukum Allah subhanahu wata'ala.
SWudah banyak bukti uang, uang justru menjadi sumber konflik dan permusuhan walau dalam satu darah geologi. Trah dan keturunan malah memenjarakan manusia dalam kotak perbedaan antara darah marah dan darah biru. Tampan dan cantik rupawan jadi pemantik keretakan hubungan karena dibakar rasa cemburu dan perselingkuhan. Tapi iman, justru menyelamatkan siapapun dari berbagai fitnah dunia itu dan mampu menarik lengannya dari jurang neraka meskipun sebelah kakinya telah dijilat ujung apinya.
Sebab itu tidak ada nikmat dalam persaudaraan yang berpijak di atas pola dasar iman, dalam naungan islam dan relasi kesetaraan ihsan.
***
Luar biasa wanita itu telah melewati masa-masa keritis dalam pengabdiannya kepada suami. Di saat genting, antara pertaruhan hidup dan mati nyawa orang yang dicintainya itu, dia berani memutuskan bahwa operasi adalah jalan yang terbaik berpegang pada analisa dokter. Ia berpikir jernih di tengah kegagapan orang-orang dekatnya. Sementara pihak yang diharapkan memberi jalan keluar, hanya mengarahkannya ke jalan buntu.
"Cari jalan lain!".
"Alternatif saja!".
"Jangan terlalu percaya pada dokter!".
"Dokter juga manusi, dia bukan tuhan!".
Keputusan dari hasil munajatnya benar. Sang suami telah pulih atas ijin Allah melalui meja operasi, yang mungkin saja tak tertolong apabila hatinya termakan oleh amarah yang riuh rendah di belakangnya. Syukurnya kepada Allah tak henti, meskipun perasaannya " dpanggang" dilema persoalan harga diri. Tapi ia tak perduli.
Cintanya kepada suami kini makin berlipat-lipat. Hasratnya hanya satu; mendampingi kekasih hidupnya itu hingga tutup usi walau sepanjang hayat tangannya harus rela menyodorkan obat dan segelas air putih bagi kesehatan pasangan hidupnya. Yang penting baginya, pengabdian sebagai istri harus tuntas sampai di ujung jihad di jalan Tuhan.
Wanita itu menghayati nilai ketaatan.
Tetapi wanita tetaplah wanita. Ia dekat dengan air mata sebab halus perasaannya. Ia mudah gamang meskipun pilihannya sudah benar, sebab bahasa qalbunya lebih dominan dari pada nalar pikirannya.
Pertolongan Allah selalu datang di saat yang tepat. Meskipun ia seperti ditanggalkan dari pohion silsilah saat musibah itu dialami suaminya, hatinya menghari biru di rumah sakit tempat suaminya dirawat. Mulutnya terkatup rapat tanpa bahasa menyaksikan para tetangga di komplek ia tinggal hadir di depan ruang operasi. Kehadiran mereka dirasakannya sebagai anugerah besar, baik secara moril maupun materil.Di sinilak kemudian syukurnya menyeruak; "Ya Robb, mereka bukanlah saudara-saudaraku. Tapi mereka semua hadir sdi depan ruang operasi memberikan dorongan moril bahkan materil. Mereka ijin dari kantor masing-masing hanya untuk memberikan dukungannya khusus pada suami saya. Saya bersyukur kepada-Mu Ya Robb. Bersyukur telah menempatkan kami pada lingkungan yang bersaudara karena Allah dan Insya Allah semua mereka soleh".
Yang sering kita dengar, betapa kehidupan komunitas komplek apalagi komplek elit terkesan individualis. Hidupnya nafsi-nafsi. Rumah dibatasi pagar tinggi dengan herder di muka pintu mengawasi. Dengan tetangga jarang bertemu. Bahkan mungkin tidak saling mengenal meski mereka dipisah hanya oleh sebidang pekarangan samping. Tapi tidak di kompelk wanita itu.
Benarlah ungkapan bijak, bahwa tetangga yang beriman hakikatnya adalah saudara terdekat kita. Sebelum sanak saudara sekandung mengetahui kesulitan kita apa, tetangga sudah terlebih dahulu mengulurkan tangan meringankan beban. Bahkan bisa jadi mereka lebih cape atas persoalan hidup yang tengah kita hadapi. Wajarlah agama mewajibkan untuk memuliakan tetangga demikian.
Karena itu, kebahagiaan dan ketersiksaan hakikatnya dalam hidup bertetangga atau bermasyarakat sebenarnya tidak bisa diukur dari elita atau tidaknya suatu tenmpat tinggal. Tetapi lebih kepada isi hati para penghuninya. Seindah dan senyaman apapun sebuah komplek hunian, tidaklah akan mampu menghadirkan ketentraman dan ketenangan bagi penghuninya apabila diisi oleh hati yang zalim, jahat dan berakhlak buruk. Tentulah sebuah kebahagiaan yang sempurna, apabila sebuah hunian diatas asri, nyaman dan berkelas dan para penghuninya membawa serta iman dan mengusung nilai persaudaraan dalam kehidupan di antara mereka. Seperti kehidupan di komplek wanita itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar